BBM Mahal untuk Makan Siang Gratis dan Keberlanjutan (Kekuasaan)

Rizky
20 Februari 2024 | 08:44:57 WIB Last Updated 2024-02-20T08:44:57+00:00
  • Komentar
Foto: Mohammad Aliman Shahmi, M.E, Dosen Ekonomi Syariah UIN Mahmud Yunus Batusangkar.

Perkara keberlanjutan hidup rakyat merupakan aspek utama yang mesti dipikirkan oleh seluruh pemegang otoritas ketimbang memikirkan bagaimana strategi di dalam mengokohkan keberlanjutan kekuasaan. Argumentasi ini bertolak daripada persoalan ekonomi politik negara berkembang yang tengah memiliki asa menuju kemajuan melalui keberlanjutan yang benar secara substansi. Namun, keberlanjutan kekuasaan diyakini sebagai instrumen utama untuk menuntaskan kebijakan yang belum usai. 


Dengan kepercayaan tinggi, pemegang kekuasaan saat ini yakin betul bahwa segala persoalan harus diselesaikan oleh yang pihak yang memulainya. Dengan bahasa keberlanjutan, kegagalan dalam menuntaskan perencanaan itu disamarkan dengan berbagai hasil survey kuantitatif yang pada dasarnya lahir dari objektifitas yang lemah.


    Berangkat dari dua paragraf opini di atas, kita beranjak pada fenomena-fenomena besar yang akan mengantarkan kita sebuah permasalahan besar yang sedang dan akan dihadapi bangsa ini. Memasuki pertengahan tahun 2023, dunia dikejutkan dengan sebuah fenomena yang tak lazim di dalam perekonomian. Lonjakan harga-harga pangan tidak mampu ditangani seperti biasanya.


    Barangkali, negara-negara dunia selama ini terlalu percaya pada konsep perekonomian terbuka dan perdagangan bebas, di mana pada saat terjadi lonjakan harga pangan domestik, pemerintah cukup menanganinya dengan cara instan melalui peningkatan volume impor. Namun, kenyataannya negara-negara yang selama ini begitu ramah menyediakan pangan murah untuk pasar dunia, ternyata mulai menerapkan pembatasan perdagangan karena mulai menyadari bahwa kebutuhan pangan domestik memiliki risiko krisis, sehingga permintaan global mesti disikapi dengan "kebijaksanaan" yang optimal melalui pembatasan ekspor.


    Pada negara agraris seperti Indonesia pun sebenarnya sudah mulai menyadari fenomena ini. Pemerintah Indonesia melalui program besar bernama lumbung pangan dengan nama populer food estate mencoba merangkai asa untuk melindungi ketahanan pangan rakyat. Namun, karena kebiasaan memelihara moral hazard dalam pengimplementasian kebijakan, program food estate tidak mampu mencapai hasil yang selaras dengan apa yang direncanakan dari awal.


    Saya enggan menyebutnya sebagai sebuah kegagalan, karena sampai saat ini pemerintah mampu menunjukkan bahwa program tersebut telah membuahkan hasil. Tidak sampai di sana, Kandidat Presiden dan Wakil Presiden yang mencapai suara melebihi 50% berdasarkan berbagai versi perhitungan suara, memiliki program makan siang gratis yang baru-baru ini semakin dikuliti lantaran isinya semakin tampak jelas. 


    Anggarannya yang sungguh besar dan ternyata memiliki konsekuensi besar karena harus mengorbankan pos anggaran lain demi mengimplementasikan kebijakan ini. Ekonom dan sekaligus penerima Nobel Ekonomi, Milton Friedman mengokohkan sebuah idiom "tidak ada makan siang yang gratis" sebagai sebuah hukum dalam perekonomian di mana setiap tindakan yang diambil memiliki konsekuensi pengorbanan yang tidak dapat dielakkan. Pada saat diusung program "pangan gratis" yang secara substansial dianggap sebagai cara ampuh memperkuat ketahanan pangan, maka pada saat itulah ada pengorbanan yang harus dilakukan dari aspek kebijakan anggaran.


    Secara politik anggaran dan kebijakan, subsidi BBM merupakan pilihan yang tepat sebagai yang dikorbankan. Secara empiris, risiko krisis saat ini terletak pada krisis pangan. Pengalihan subsidi BBM kepada subsidi pangan dalam “brand” kebijakan makan siang gratis kemungkinan besar akan lebih mudah diterima karena kebijakan akan lebih mudah disampaikan secara komunikatif dengan narasi "subsidi yang inklusif". 


    Makan siang gratis itu bisa untuk semuanya, sementara BBM subsidi hanya yang memiliki kendaraan saja. Namun, di sinilah masalah besar terus meluas dan mengakar. Arah kebijakan semakin rancu dan tidak memiliki arah keberlanjutan yang jelas. Sekiranya persoalan ini bertolak dari perkara krisis pangan, negara sudah sepatutnya menghindari kebijakan yang sejatinya hanya pemanis di luar. Seharusnya, ketahanan pangan harus ditangani segera dengan penuntasan lumbung pangan yang sebelum ini sudah mengorbankan anggaran besar dan itu hanya untuk menutupi kegagalan. 


    Jangan sampai timbul kesan bahwa kebijakan dibiarkan berputar-putar dalam kerangka memanjakan rakyat. Sehingga, rakyat berada dalam lingkaran setan kekuasaan dan tiada satupun kemajuan yang berarti bagi rakyat. Cobalah lihat kebelakang, minimal 10 tahun terakhir saja. 

    -Mohammad Aliman Shahmi, M.E

    -Dosen Ekonomi Syariah UIN Mahmud Yunus Batusangkar.

    -Peneliti Heezba Networks.

    Komentar
    Komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
    • BBM Mahal untuk Makan Siang Gratis dan Keberlanjutan (Kekuasaan)
    • 0