![]() |
Bukittinggi - Semenjak keluar Putusan Inkracht Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) nomor: 2108 K/Pdt/2022 pada tanggal 8 Juli 2022, perkara antara Yayasan Fort de Kock (FDK) dengan Pemko Bukittinggi terus berlanjut dengan laporan pengaduan Syafri St Pangeran. Sebelumnya Syafri merupakan bagian dari para Tergugat dalam sidang putusan MA tersebut (selaku pemilik asal tanah), kembali membuat laporan tentang dugaan penggelapan sertipikat yang dilakukan Pemko Bukittinggi ke Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Barat (Sumbar).
Untuk diketahui, pada tahun 2005 telah terjalin hubungan Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) sebidang tanah antara pihak Yayasan FDK dengan keluarga Syafri St Pangeran. Sementara di tahun 2007 juga terjadi transaksi jual beli tanah yang dibuktikan dengan akta jual beli (AJB) antara pihak keluarga Syafri St Pangeran dengan Pemko Bukittinggi diatas atas tanah PPJB tersebut.
Menyikapi hal itu, Pemko Bukittinggi menyatakan tidak ada masalah jika masyarakat menguji pemerintah (biasa itu) asal bukan pemerintah yang menguji masyarakat. Menurut Pemko Bukittinggi, prinsipnya pemerintah tidak mau gegabah dan tidak ingin mengganggu stabilitas sistem belajar mengajar di kampus.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Daerah Pemko Bukittinggi, Martias Wanto saat ditemui Jurnalis media detaksumbar.com beberapa hari lalu.
Menurut Martias Wanto, sekarang yang perlu diketahui, tambahnya, betulkah tuduhan Pemko menggelapkan sertipikat? Kita ikuti supaya jelas persoalannya. Kalau menurut Polisi memenuhi syarat untuk dilanjutkan, ya silahkan di uji.
"Sekarang-kan kita dituding oleh Syafri menggelapkan sertipikat, kita ikuti itu dulu. Sampai dimana endingnya, kalau Pemko Bukittinggi dihadapkan kepada pihak yang salah, akan kena disitu," ucapnya.
Lanjut Martias, masalahnya kita ini berhadapan dengan lembaga pendidikan, makanya tidak ada tuntutan balik, itu tandanya Pemko pro pendidikan. Pemerintah tidak mau gegabah dan tidak ingin mengganggu stabilitas sistem belajar mengajar.
"Sebenarnya, apa urusan langsung antara Pemko dengan FDK, yang ada urusannya sama Syafri. Memang Pemko bagian dari Tergugat saat waktu persidangan tapi tidak bagian dari pihak yang di eksekusi," tegasnya.
Lanjut Martias, yang ada dalam putusan itu diminta para pihak menyelesaikan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), lalu para pihak itu yang mana, FDK dengan Syafri, selesai.
Dalam proses aamaning, resmi panitera menyampaikan bahwa Pemko bukan dari para pihak. Ketika dalam proses aamaning, FDK meminta pengadilan agar Pemko Bukittinggi menyerahkan sertipikat tetapi pengadilan negeri menyatakan bahwa vonis sudah selesai.
Ketika ditanya Jurnalis, bagaimana dengan status Pemko Bukittinggi yang dinyatakan dalam putusan persidangan bahwa pihak yang beretikad tidak baik?
Martias Wanto menjawab, jadi dalam persidangan sebelumnya, jangankan Pemko yang dulu, Pemko tidak pernah dilihatkan PPJB itu.
"Makanya kenapa Pemko dikatakan sebagai pihak atau pembeli yang beretikad tidak baik karena AJB itu di sahkan melalui Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Padahal dalam ketentuan itu boleh," jelas Martias.
"Bukan karena Pemko tau bahwa sebelumnya tanah itu sudah ada terikat dijual beli dengan seseorang, bukan. Bodoh sekali Pemko kalau tau itu dibeli juga. Padahal Pemko membeli ke syafri lengkap, uangnya diberikan, surat keterangannya juga ada, sertipikatnya ada, itu persyaratan dari PPAT yang harus dipenuhi, lalu keluar AJB," katanya.
Lagi pula sekarang, tambahnya, apalagi sudah datang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menjanjikan akan memfasilitasi sengketa ini. KPK juga menyarankan agar mempertahankan aset Pemko Bukittinggi. Sebenarnya tidak ada masalah antara Pemko dengan FDK.
"Ini terkait masalah aset, tidak mudah kita menghapus tentang aset daerah. Ketika FDK mendesak Syafri sudah benar, ketika Syafri mendesak Pemko juga benar tapi syarat melepaskan sertipikat itu tidak ada. Silahkan lanjutkan PPJB, ya apa urusannya dengan Pemko," tanya Sekda Bukittinggi.
Menurut Martias, syarat-syarat penghapusan aset itu diantaranya, bencana alam, betul-betul tidak produktif lagi, hibah, putusan pengadilan.
Untuk diketahui, lanjut Sekda Bukittinggi, FDK sudah mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak-nya ke Badan Pertanahan Negara (BPN). Kita juga sudah mengajukan hal yang sama ke BPN.
"Kita pernah berupaya dari awal-awal, agar kita saling menghibahkan, nanti kita sampaikan hal ini ke DPRD, ok lah. Pak Walikota sudah ngomong, kalau gitu kita hibahkan saja. Tapi untuk menghibahkan itu syaratnya, sertipikat lama berdasarkan AJB yang kita miliki harus ditingkatkan menjadi sertipikat Hak Pakai di BPN, bukan tidak ada jalannya," terangnya.
"Jadi, tidak ada kekuatan atau dipaksa pemerintah harus menyerahkan sertipikat kalau berdasarkan putusan pengadilan ini, karena ini masalah aset. Kalau kasus aset dibandingkan kasus uang lebih cepat kita masuk (penjara) kalau salah langkah. Kalau uang bisa diganti tapi kasus aset tidak bisa," kata Sekda.
Sementara itu dilokasi yang berbeda, Kuasa Hukum FDK, Didi Cahyadi Ningrat saat dikonfirmasi melalui saluran telepon di Padang, pada Rabu, (11/10) mengatakan bahwa Pemko Bukittinggi sebagai bagian dari upaya pengamanan aset seharusnya melihat dalam Pasal 296 ayat 2, Peraturan Mendagri Nomor 19 tahun 2016 tentang pedoman pengelolaan barang milik daerah, (pengaman fisik, pengamanan adminstrasi, pengamanan hukum).
"Sebenarnya saat ini, Pemko Bukittinggi takut dengan bayang-bayangnya sendiri. Satu sisi Pemko bermain sebagai Playing Victim, padahal bagian para pihak yang berperkara," pungkasnya.
Putusan Pengadilan sudah tetapkan kepada siapa aset/objek perkara tersebut untuk dimiliki dan diserahkan kepemilikannya secara hukum. Kemudian lanjut Didi, pemerintah kota tidak memiliki lagi posisi tawar, ketika sudah ada putusan pengadilan, meskipun status masih ajb karena sudah ada hak pihak lain berdasarkan putusan pengadilan.
"Dimana hari ini hak/kepemilikan negara telah kalah oleh rakyat melalui putusan pengadilan (yudikatif). Maka kepentingan rakyat menjadi harga mati yang harus dilindungi dengan cara memberikan hak tanah kepada FDK dalam bentuk (HGB) agar dapat dipergunakan segera untuk pemenuhan kebutuhan/kepentingan pendidikan," tegasnya.
Sehingga secara hukum, administrasi, dan fisik, maka BPN selaku institusi terkait wajib mematuhi selaku pihak lain yang disebut dalam Putusan Pengadilan turut serta menuntaskan isi putusan diatas, termasuk memastikan hal itu secara full atau penuh dimiliki oleh Yayasan.
Apalagi yang menang adalah badan hukum penyelenggara pendidikan tinggi juga menjalankan fungsi negara dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan yang belum mampu negara hadirkan dan lakukan secara penuh untuk rakyat serta pertimbangan dalam rangka mendukung iklim investasi yang kondusif sebagai mana amanat UU cipta kerja.
Jika ini tidak terlaksana maka tentu dapat dituntut secara hukum oleh 'rakyat' tersebut dalam lapangan hukum perdata dan PTUN (PMH) dan pidana tentang dugaan persekongkolan/pemufakatan jahat karena ingkar dengan putusan pengadilan Pasal 216 KUHP.
"Hari ini lanjut Didi, penuntasan FDK masih terkendala oleh hal yang bersifat administratif ditubuh yang kalah, dalam bentuk dugaan propoganda semu bahwa BPN bagian institusi negara yang turut wajib 'amankan' aset negara," ucapnya.
Maka untuk itu, BPN harus memakai prinsip 'kaca mata kuda' dengan tetap dan wajib dan teguhkan niat baik dan keyakinan atas hak keperdataan yang dimiliki oleh Yayasan FDK untuk keluarkan HGB melalui prosedur dan tata cara yang diatur dalam PP pendaftaran tanah tahun 2021.
"BPN seharusnya tidak masuk kedalam konflik kepentingan yang berperkara. Artinya BPN tidak ada keragu-raguan lagi untuk segera terbitkan atau keluarkan HGB tersebut," tegasnya.
Jika HGB telah keluar, tambah Didi, maka permasalahan 'aset' pemko semakin memiliki kepastian hukum. Kemudian ditata dan dicabut kembali status yang tercatat atau sudah terdaftar tadi dengan dasar telah ada Putusan Pengadilan.
Selanjutnya, kata Didi, jika HGB tidak juga dikeluarkan, sebagai bentuk kepastian hukum kepada pemohon/yayasan FDK, maka Pemko pun secara hukum formil dan materil akan terus tersandera secara administratif, fisik dan hukum secara pertanggungjawaban diatas. Sehingga bisa naik tingkat kepada temuan dan tindak lanjut melalui audit investigasi oleh BPK RI jika tetap menguasai SHM atas nama pemilik asal tanah.
Selayaknya, lanjut Didi, Pemko Bukittinggi segera minta/terima uang hasil eksekusi dari pihak pemilik asal tanah, (lebih cepat lebih baik). Sebelum resiko hukum dalam bentuk kelalaian menyelamatkan keuangan negara menjadi fakta hukum yang berkonsekuensi secara hukum baik secara personal yang dianggap sebagai penanggung jawab pengelolan aset di satker/dilingkungan sekretariat daerah kota Bukittinggi.
"Dikhawatirkan akan menjadi temuan BPK nantinya dalam laporan semester terakhir tahun 2023 ini, karena tidak mampu menindaklanjuti temuan BPK RI dalam Laporan Hasil Pengawasan pemeriksaan keuangan tahun 2022," jelas Didi.
Ketika ditanya Jurnalis, apakah benar kehadiran KPK ke Bukittinggi dalam rangka menjadi penengah dan berjanji akan mengeluarkan rekomendasi agar pemko mempertahankan aset?
Didi menjawab, terkait kehadiran KPK ke Bukittinggi itu kita yang undang. KPK datang ke FDK dan ke Pemko Bukittinggi tidak pernah mengeluarkan statemen rekomendasi agar pemko mempertahankan asetnya.
"Tidak ada itu upaya jadi penengah, sudah kita tanyakan langsung kepada Tim KPK yang datang ke kita, bohong itu," tegasnya.
Akhir wawancara, Didi menekankan bahwa adanya upaya Pemko Bukittinggi meningkatkan stastus AJB menjadi Sertipikat Hak Pakai lalu kemudian akan diupayakan untuk hibah, itu hanya upaya modus Pemko saja.
"Apa gunanya kita berperkara selama ini. Cara pikir seperti itu cara tipu-menipu saja itu, cara pikiran jahat dan modus penggelapan sertipikat," tutup Didi. (*)