![]() |
Foto Istimewa: Kantor Walikota Bukittinggi. |
Bukittinggi - Akhir-akhir ini isu yang paling santer terdengar dan menjadi sorotan masyarakat yakni netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) di kota Bukittinggi dalam masa kampanye pemilu tahun 2024. Hal tersebut berdasarkan laporan atau informasi yang masuk ke Bawaslu Bukittinggi dari berbagai unsur masyarakat.
Untuk itu dibutuhkan kerjasama dari para Anggota Pokja Netralitas ASN, TNI/Polri dan Anggota Pokja Isu-isu Negatif yang tergabung dari berbagai unsur, untuk memberikan informasi tentang adanya dugaan pelanggaran netralitas baik yang dilakukan oleh ASN termasuk dari TNI/Polri.
Hal tersebut disampaikan oleh Ridwan Afandi, S. Hum, Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Bukittinggi saat melakukan Rapat Koordinasi bersama Anggota Pokja, pada Jumat, (26/01) di kantor Bawaslu Bukittinggi.
Lanjut Ridwan, semua informasi dari Bapak/Ibu atau dari masyarakat sangat berarti bagi Bawaslu Bukittinggi untuk melakukan penelusuran jika seandainya terjadi ketidak-netralan dari ASN di lapangan.
"Saat ini issue yang paling santer terdengar itu terkait netralitas ASN di Bukittinggi. Untuk itu kita sama-sama agar bisa mencegah terhadap isu-isu netralitas ASN, dan termasuk TNI/Polri di kota Bukittinggi," ujarnya.
Foto: Rapat Koordinasi Bawaslu Bukittinggi bersama Anggota Pokja di kantor Bawaslu Bukittinggi.
Sementara itu, Plt. Ketua Bawaslu Bukittinggi, Eri Vatria, yang juga selaku Koordiv. Hukum, Pencegahan Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Bukittinggi, menambahkan ada 3 tantangan pemilu berintegritas di tahun ini, diantaranya, politik uang, politik identitas dan kekerasan politik.
Lanjut Eri Vatria, berbicara terkait dengan isu netralitas ASN, sebelumnya Bawaslu Bukittinggi pernah menindaklanjuti kasus walikota misalnya. Ada laporan masyarakat terkait dugaan kampanye terselubung salah satu paslon capres yang dilakukan oleh Walikota Bukittinggi.
"Namun setelah ditelusuri dalam kasus walikota ini, karena tidak ada saksi yang sama sekali diberikan, kemudian alat bukti (video) yang tidak asli (terpotong-potong) juga tidak bisa diuji. Sudah kita sampaikan di forensik Pekanbaru, mereka minta yang asli," kata Eri Vatria.
Lanjut Eri, kalau menurut ahli sebenarnya kalau unsur pelanggarannya itu sudah masuk. Tapi buktinya yang tidak ada. Sehingga kata ahli, biasanya hakim tidak akan mau memutus perkara pidana apalagi dengan bukti minimal.
"Sehingga kita tidak bisa menelusuri hal seperti itu," ujar Koordiv. Hukum, Pencegahan Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Bukittinggi. (*)