![]() |
Foto Istimewa: Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. |
Bukittinggi - Pasca keluarnya Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI) pada Kamis, 18 Januari 2024 tentang pengaduan sejumlah masyarakat mengenai ditetapkannya Gibran Rakabuming Raka sebagai Pasangan Calon Wakil Presiden Republik Indonesia (Cawapres RI) dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) akan berdampak delegitimasi hasil pemilu tahun 2024.
Putusan DKPP RI berdasarkan Nomor: 135-PKE-DKPP/XII/2023, Nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023, Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan Nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023, menjatuhkan putusan pelanggaran berat kode etik yakni sanksi Peringatan Keras Terakhir kepada Ketua KPU RI dan Peringatan Keras kepada seluruh Anggota KPU RI.
Pasca diputuskan dalam rapat pleno oleh 5 anggota DKPP RI, Akademisi Fakultas Hukum UM-Sumbar, Dr. Wendra Yunaldi SH, MH, menanggapi bahwa hal itu akan berdampak delegitimasi hasil pemilu tahun 2024.
Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua dan seluruh Anggota KPU RI, akan berdampak buruk dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu khususnya KPU RI termasuk KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Foto: Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Bukittinggi, Dr. Wendra Yunaldi SH,MH.
"Walaupun secara hukum tidak merubah apa-apa, tidak merubah subtansi keputusan KPU dan Bawaslu yang sudah ditetapkan. Tetapi akan menjadi persoalan dan akan berdampak buruk kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap proses dan hasil pemilu 5 tahun kedepan, siapapun yang menang," ujar Wendra saat wawancara ekslusif dengan jurnalis detaksumbar.com pada Rabu, (07/02) di kota Bukittinggi.
Delegitimasi adalah adanya penolakan dan pengakuan atas kewenangan yang diberikan oleh masyarakat kepada pimpinan yang telah diberikan kekuasaan meskipun dilakukan secara demokratis.
"Apa lagi polemik pelanggaran etik terhadap penyelenggara pemilu ini berlangsung sejak adanya proses panitia seleksi penyelenggara pemilu, lalu hasil putusan mahkamah konstitusi kemudian ditambah lagi hasil putusan DKPP," ungkapnya.
Dampaknya, lanjut Wendra, secara etik, hasil pemilu akan menjadi perdebatan atau polemik secara berkelanjutan bahkan bisa saja berkonsekuensi secara hukum. Bisa saja masyarakat akan melakukan gugatan melalui PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara) terhadap penetapan hasil pemilu dengan dasar putusan DKPP, terbuka peluangnya kesitu.
"Artinya, menang atau kalah-pun pasangan Prabowo-Gibran akan berpotensi adanya gugatan terhadap hasil pemilu karena ada proses penetapan salah satu pasangan capres ini, tidak memenuhi syarat, karena ada pelanggaran kode etik oleh KPU," tegas Wendra. (*)