![]() |
Foto Istimewa: Ilustrasi jiwa pemimpin kekanak-kanakan |
Isu-isu yang kita hadapi sekarang sudah sangat kompleks, sehingga tidak terpikirkan oleh para pemimpin yang hidup di abad lalu. Evolusi keadaan ini juga perlu diikuti oleh evolusi kapasitas kepemimpinan. Kita sekarang membutuhkan pemimpin yang sanggup menghadapi isu-isu yang jauh lebih kompleks, dan membuat keputusan keputusan yang berani, keras dan future oriented.
Penelitian Kegan and Lahey, Torbert, dan Fisher mengatakan bahwa 80℅ pemimpin mendadak membelenggu sendiri pengembangan kariernya, atau "developmentally stuck", dan melakukan manuver kepemimpinan yang mendatar setelah menduduki jabatannya.
Para pemimpin ini biasanya berorientasi bertahan (survival) untuk saat ini, ketimbang mengembangkan mentalitas futuristik. Mereka pun tidak lagi setajam dulu, sekarang lebih berkompromi dan lebih mengandalkan popularitas. Pada saat kesempatan dan tuntutan karier mengharapkan kita untuk lebih mampu melihat jauh ke depan, kita memang harus selalu waspada agar tidak terjebak untuk berpandangan jarak dekat sehingga tidak mampu menavigasi diri kita sendiri.
Banyak pemimpin yang begitu menjabat kemudian mengabaikan pengembangan karakter dan kepribadiannya, sehingga kekuatan yang dulu kita kagumi tidak lagi menjadi hal yang kinclong lagi, karena tertutup oleh sikap kekanak-kanakan dan atau tidak bijaksana.
Biasanya, kita mengagumi sosok pemimpin tersebut karena kuat dalam satu atau beberapa aspek kepribadian, atau memiliki beberapa kompetensi yang menonjol.
Pakar perkembangan kepribadian Erik H. Erikson mengatakan bahwa seorang pemimpin tidak boleh berhenti mengembangkan dirinya sampai tingkat bijaksana. Pengetahuan dan kemampuan praktis sangat dibutuhkan untuk melihat pola, kecenderungan, hubungan, dan kaitan satu aspek dan lainnya. Sayangnya, banyak pemimpin yang termotivasi untuk mempraktikkan ketrampilan yang dia sudah kuasai dan hanya mendengar dari beberapa pihak.
Satu-satunya solusi dari situasi ini adalah membuat sistem komunikasi agar “barisan bawah” bisa didengar. Pemimpin tidak boleh malas berdiskusi, apalagi merasa bahwa semua solusi sudah ia ketahui. Tidak ada kata cukup untuk berinteraksi karena dari sinilah tumbuh dan berkembangnya kebijaksanaan, kematangan emosi, karakter, dan nilai pribadi kita.
Seorang pemimpin yang ingin jadi lebih bijaksana, perlu banyak meraba hal-hal yang tidak terjaga, baik itu masa depan, nilai-nilai, dan visi. Para pemimpin yang sudah mencapai tahap bijaksana terlihat dari sikap mereka yang mampu mengontrol dan menguasai dirinya, sebelum menguasai orang lain. Ia bisa menampilkan rasa respek yang tinggi kepada setiap individu di bagiannya, karena memang sungguh-sungguh menganggap anggota timnya adalah aset paling berharga.
Pemimpin yang bijaksana sangat tahu bahwa suatu saat jabatannya tidak dipangku lagi dan kehendak satu-satunya adalah bekerja keras, agar ketika ditinggal, lembaga ini sudah berjalan lancar.
Itulah sebabnya ia pun akan banyak berfokus pada manusia dan menebar bibit serta mengembangkan anak buah dengan serius. Tidakkah kita terinspirasi untuk terus-menerus mengembangkan sikap bijak, dan memberantas sikap kekanak-kanakan dalam kepemimpinan kita?
Ada pemimpin yang kita kagumi karena jago strategi, ada juga yang karena jago orasi, dan banyak contoh lain. Inilah alasan kuat yang membawa mereka untuk jadi pemimpin. Begitu menonjol kekuatannya, sehingga bahkan kekurangan-kekurangannya sering kita maafkan.
Di pemerintahan, perusahaan atau instansi lain kita banyak melihat pemimpin yang sering "dimengerti", walaupun sebenarnya merugikan. Sebagai contohnya, bila sang pemimpin tidak berkenan, kadang kala dengan mudahnya ia meninggalkan rapat dan mengatakan, "Kalian pikirkan sendiri lah. Urusan seperti ini saja harus saya yang urus". Belum lagi bisa kita saksikan betapa seorang pemimpin tidak mempunyai rasa bersalah atau terusik nuraninya.
Banyak pemimpin lupa bahwa reputasinya harus dijaga. Seperti di saat-saat sekarang, di mana banyaknya permintaan sosial masyarakat yang mendesak, perkembangan bisnis bergerak lebih cepat daripada kesiapan kompetensi individu, apalagi kompetensi memimpinnya. Sering terlihat bahwa pemimpin tidak sadar bahwa kualitasnya tidak sebanding dengan tuntutan tanggung jawabnya. Dengan berkembangnya zaman, teknologi, bisnis bahwa pemimpin itu harus sadar, ia tidak bisa sekadar menuntut anak buah mengembangkan diri, namun ia pun perlu mengembangkan diri.
Pemimpin yang "kurang matang" ini sering tidak menyadari kekurang matangannya. Apalagi kalau sebelumnya mereka berprestasi sebagai "superstar", baik sebagai pengusaha, dosen, kontraktor, polisi, tentara, anggota dewan, birokrat dan beranggapan bahwa kesuksesannya yang lalu adalah penentu kesuksesannya sebagai pemimpin masa depan.
Pemimpin, dimana pun posisinya, sudah pasti akan mendapat sorotan. Gerak-geriknya akan diperhatikan dan dibicarakan. Itu sebabnya para pemimpin harus mengecek apakah mereka bersikap pembatasan karir?
Apakah sekadar menjalankan praktik yang sudah basi, menikmati comfort zone dan sikap penurut dari pengikutnya? Apakah sebagai pemimpin, kita sekadar sibuk dengan pekerjaan di depan mata dan tidak memikirkan inovasi dan antisipasi terhadap masa depan?
Tidakkah sebagai pemimpin kita ingin bertindak lebih bijaksana? Memang tidak ada individu yang sempurna, namun setiap pemimpin tetap perlu mematangkan dirinya agar tidak dicap kenak-kanakan (childish), keras kepala, dan mau menang sendiri. (kompas.com - 18 Juni 2012)