![]() |
Foto Karikatur Istimewa: Politisi Ideal, Makhluk Politik atau Negarawan? |
Dalam bulan-bulan menjelang pemilihan umum (Pemilu), rakyat menyambut pesta demokrasi 5 tahunan. Dimana pada saat itu ekonomi rakyat masih lesu dan daya beli juga sedang melemah (tanpa disuguhkan data statistik).
Namun rakyat gembira menyambut datangnya masa kampanye. Masa-masanya para kandidat dengan beragam warna baju, membawa segudang janji dan menebar gimik politik kepedulian terhadap sesama.
Gimik (bahasa Inggris: gimmick) adalah istilah umum yang merujuk kepada pemanfaatan kemasan, tampilan, alat tiruan, serangkaian adegan untuk mengelabuhi, memberikan kejutan, menciptakan suatu suasana, atau meyakinkan orang lain. Menurut KBBI, adalah gerak-gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran.
Seperti sedang membangun citra sebuah perusahaan atau merk dagang, para kontestan (calon legislator) seolah sedang membutuhkan citra positif di mata calon pemilih. Beragam cara dilakukan agar dapat menarik perhatian warga masyarakat. Permainan gimmick untuk menarik perhatian warga seakan sang kandidat memiliki kepedulian sosial yang tinggi pada kehidupan rakyat.
Salah-satu cara yang efektif yang mereka lakukan diantaranya mendatangi rumah warga dengan ekonomi yang dibawah rata-rata, dan tidak lupa membawa tim media kreatif untuk mengolah sebuah 'roman picisan' untuk menarik perhatian di mata netizen. Seolah yang terbangun sang calon legislator peduli dan berpihak pada warga yang akan menjadi konstituennya.
Tanpa tendensi, kita tidak menafikan bahwa meskipun banyak praktisi politik di kota ini tapi tidak menjiwai makna keberpihakan. Ulasan ini, lebih kepada opini pribadi tanpa data. Meskipun diskursus publik mengenai politik, tidak pernah sepi dari perbincangan sehari-hari.
Pointnya adalah, Dimanakah Visi Sang Kandidat? Apakah politik sesederhana itu? Apakah politik nirmakna hanya dimiliki oleh kelompok borjuis kota?
Terpikir-kah oleh para kandidat, bahwa ada yang berpikir pesimis, bahkan ada juga yang apatis, kemudian memilih untuk menjadi golongan putih (golput) dengan membawa sebuah pemikiran bahwa siapapun yang terpilih, kehidupan ya seperti ini juga tidak berubah.
Dan terkadang tidak sedikit terdengar suara menyerukan, "Yang kaya makin kaya, kita ya begini-begini saja. Banyak orang kaya lama, yang kita sekali kaya, nggak lama-lama".
Mereka (para kandidat) seolah membangun politik sederhana yang mungkin menggunakan taktik baru di era medsos, dan membual di arena sosialisasi. Dengan turun ke lapangan membawa bingkisan dan sejumput kepedulian. Meskipun cara yang seperti ini sah dan tidak ada salahnya demi sebuah kursi kekuasaan.
Ada juga yang menggunakan cara lama dengan media spanduk, baliho, stiker, kaos dan bentuk-bentuk promosi fisik lainnya. Warga disuguhkan dengan visualisasi sang kandidat dengan logo partai dan nomor urut, ajakan memilih ditampilkan dengan sosok visual editan komputer agar tampil cantik dan gagah menarik perhatian calon pemilih.
Dalam alam pikirannya, toh biro jasa percetakan hanya sebatas menerima pesanan dari calon tersebut, meskipun dengan resiko suatu saat alat peraga kampanye akan ditertibkan oleh petugas yang berwenang.
Jadi, tidak lebih dari sekedar modal kecil dari lembaran rupiah untuk spanduk yang bertebaran dengan sekali pasang yang diterima oleh tim sukses (untuk beli kopi dan gula). Bahkan bila perlu tempat pemasangannya di properti pribadi, minimal si pemilik juga bakal menerima siraman. Lagi lagi, kita tidak mempersoalkan hal ini.
Padahal, manusia adalah makhluk politik (zoon politicon), menyitir pendapat dari filsuf kuno dari zaman pagan, aristoteles. Karena saya merasa jadi manusia, maka politik menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi saya sebagai manusia.
Politisi yang ideal menurutku adalah politisi yang jelas keberpihakannya, memiliki gagasan (ideologi) dan juga syarat tambahan adalah puritan dalam moralitas. Persoalan akan timbul manakala prasyarat ideal ini tidak terpenuhi oleh subjek politik tersebut.
Politisi yang ideal minimal memenuhi 3 indikator ini. Memiliki gagasan, ideologi dan puritan dalam moralitas. Yang dimaksud dengan gagasan adalah apa yang sudah dilakukan untuk masyarakat dan apa rencana program yang hendak dilaksanakan untuk masyarakat jika terpilih untuk periode selanjutnya.
Ideologi lebih kepada cita-cita bersama yang ingin diwujudkan melalui partai politik melalui jalur kekuasaan lembaga politik. Dan puritan dalam moralitas menekankan aspek yang sangat subyektif dari sang kandidat, yakni moralitas. Moralitas bukan bias pencitraan yang dipoles lewat media. Saya meyakini moralitas ini penting karena kekuasaan dapat merubah karakter dan sifat seseorang.
Nah, politisi yang tidak memiliki ini semua dapat dikatakan politisi bodoh yang hanya mampu menyuguhkan tontonan pencitraan. Sebagaimana kita tahu bahwa pencitraan itu semu, diciptakan melalui sudut pandang. Seakan-akan baik, elok dan peduli, hal mana yang bertolak belakang dengan kehidupan hariannya sebelum masuk ke lembah kepura-puraan yang dinamakan kehidupan politik.
Politisi seperti ini selain oportunis, jika diajak bicara, tidak tampak gagasannya, yang penting bicara. Politik tak selamanya kaku, ia menjadi bahan lelucon masyarakat di kedai kopi. Bahan celaan dan guyonan terhadap perilaku politisi yang bertolak belakang dengan standar etik dan budaya masyarakat. Tidak aneh memang dan jamak ditemui di kedai kopi hingga obrolan di ruang seminar.
Ada istilah yang saya nukil dari Budiman Sujatmiko (BS) bahwa yang disebut makhluk politik harus memenuhi 3 prasyarat, diantaranya :
1. Gagasan
2. Jaringan rakyat
3. Kehendak untuk berkuasa.
Kurang dari 1 poin diatas, maka subyek politik tidak bisa dikategorikan sebagai makhluk politik, demikian ujarnya.
Terlepas dari suka dan tidak suka terhadap sosok BS, ini adalah parameter yang dibuatnya sendiri yang dihasilkan melalui proses kehidupan dan interpretasi terhadap bahan pembelajarannya selama ini.
Lantas, bagaimana dengan wakil rakyat yang setelah terpilih, tidak mampu berkontribusi secara signifikan terhadap rakyat dan negerinya?
Bah, ini parah sekali menurutku. Inilah legislator yang terpilih karena berdasarkan keluarga, uang, popularitas atau kombinasi ketiganya sekaligus.
Ia tak mampu mengkapitalisasi kekuasaannya untuk kepentingan umum.
Bahkan suatu saat penulis pernah mendengar kisah bahwa sang dewan yang terhormat berhasil menduduki kursi kekuasaan, dan ketika rakyat datang padanya, ia hanya mampu berkata bahwa ia peduli atas persoalan warga, namun tidak mampu mengekspresikannya secara retoris dan memperjuangkannya di lembaga dewan dimana ia berada.
Duh Mak...
Bukankah engkau dipilih, duduk dan digaji untuk bicara dan memperjuangkan aspirasi rakyat? Mendengar ini, penulis pergi ke apotik untuk membeli aspirin karena langsung badan terasa demam. Mujur pak dewan yang terhormat ini bukan berasal dari kota ini.
Kesimpulannya, bahwa manusia adalah makhluk politik, penjabaran dari premis umum ini dapat dibagi atas 3 kategori :
1. Politisi ideal
2. Makhluk politik
3. Praktisi politik.
Nah menurutku, politisi tidak selamanya harus jadi caleg supaya menjadi anggota parlemen. Menjadi politisi, harus jelas pada siapa keberpihakannya. Menjadi politisi tidak mesti jadi anggota legislatif karena masih banyak ruang di negara ini untuk berbakti diluar parlemen.
Meski saya bukan Rocky Gerung yang sudah jelas salah namun tak pernah mau mengakui kesalahan. Mesti ada kesalahan pikiran di kepala penulis sehingga memberanikan diri untuk beropini. Kita terbuka kritik dan saran, persoalannya meski tidak semua saran diterima.
Tulisan ini dibuat bukan untuk disimpulkan, melainkan untuk ditertawakan. Salam demokrasi, Takbir.
Penulis: Ivan Haykel
Aktivis Sosial Politik Kota Bukittinggi.