![]() |
Foto Maket: Lahan perkara perdata yang akan dibangun gedung DPRD kota Bukittinggi. |
Bukittinggi - Menyikapi putusan pengadilan Mahkamah Agung terkait perkara perdata antara Pemko Bukittinggi dengan Yayasan Pendidikan Fort de Kock, Anggota DPRD kota Bukittinggi mengatakan bahwa Pemerintah Kota Bukittinggi secara moril harus menyelamatkan nominal anggaran/budget yang berpeluang merugikan negara, meskipun perkara tersebut tidak terjadi di saat Pemerintahan sekarang.
Hal tersebut disampaikan Anggota DPRD kota Bukittinggi dari Partai Amanat Nasional, Rahmi Brisma, usai melakukan rapat gabungan di gedung DPRD kota Bukittinggi, pada Jumat, 21 Oktober 2022.
"Sebenarnya saya tidak berkapasitas untuk berkomentar, produk hukum yang sudah inkracht tidak boleh dilanggar. Tapi yang mungkin dilakukan adalah kita cari win-win solution-nya, mediasi itu boleh," ucapnya.
Meskipun peristiwa itu tidak terjadi di pemerintahan sekarang, sebab namanya Walikota atau Pemerintah Kota itu yang melekat, bukan personalnya. Secara moril harus bertanggung jawab.
"Kalaupun tidak terjadi mediasi, setidaknya Pemerintah Kota Bukittinggi harus berusaha menyelamatkan nominal anggaran/budget yang berpeluang merugikan negara. Tidak selamat uang negara kalau tidak diurus dengan baik," tegas Rahmi.
Sebelumnya telah keluar Putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia perkara nomor: 2108 K/Pdt/2022, pada tanggal 28 Juli 2022, menjelaskan tentang sengketa tanah antara Yayasan Pendidikan Universitas Fort de Kock (Penggugat) dengan Pemko Bukittinggi (Tergugat).
Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan putusan terkait perkara sengketa legalitas lahan atau tanah seluas 12.000 M2 yang sebelumnya terikat perjanjian perikatan jual beli atau PPJB pada tahun 2005 antara Yayasan Universitas FDK dengan keluarga Syafri Sutan Pangeran Cs.
Namun pada tahun 2007, Pemko Bukittinggi ikut membeli sebagian dari tanah tersebut (untuk pembangunan gedung DPRD kota Bukittinggi yang baru) dari pihak keluarga Syafri Sutan Pangeran Cs.
Dalam amar putusan MA menjelaskan bahwa putusan judex facti Pengadilan Negeri (PN) Bukittinggi dan Pengadilan Tinggi (PT) Padang tidak melanggar hukum dan/atau Undang-Undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi yakni Pemko Bukittinggi harus ditolak.
"Seharusnya Pemerintah sejak dulu sudah melakukan tuntutan kepada pemilik atau penjual tanah karena beritikad tidak baik, kenapa demikian karena kita lalai," pungkasnya.
Padahal pemilik sudah menjual kepada pihak lain meskipun statusnya PPJB. Bahkan pemerintah yang dibilang pengadilan sebagai pembeli yang tidak beritikad baik.
Nah, tambah Rahmi, sekarangkan kita belum ada yang kita pilih, opsi mana yang ditawarkan oleh pihak-pihak, tentu harus kita maksimalkan bagaimana kita bisa menyelematkan uang negara.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ketua DPRD kota Bukittinggi, Beny Yusrial bahwa Pemda harus menghormati putusan pengadilan seperti yang pernah saya sampaikan sebelumnya.
"Lagi pula kita juga belum dapat laporan resmi dari Pemda tentang hasil keputusan apa yang akan diambil oleh Pemda. Pertemuan itu baru akan kita jadwalkan," ungkap Beny. (*)